Bab 7: Seni Mendengar dan Memahami
Lebih dari Sekadar Mendengar
Banyak orang bisa mendengar,
tapi tidak semua mau benar-benar memahami.
Kita sering terburu-buru menjawab.
Ingin cepat menanggapi.
Ingin segera membela diri.
Padahal kadang yang dibutuhkan bukan jawaban,
melainkan telinga yang mau mendengar dengan sabar.
Dan hati yang siap menerima dengan lapang.
Mendengar itu seni.
Ia bukan hanya tentang telinga,
tetapi tentang jiwa yang rela menahan ego.
Empati Sebagai Jalan Tengah
Empati adalah kunci dalam menjaga hubungan halal.
Bukan sekadar ikut merasakan,
tetapi berusaha menatap dari sudut pandang pasangan.
Apa yang ia rasakan,
apa yang ia maksud,
bahkan jika ia salah sekalipun—
tetap butuh dipahami lebih dulu.
Karena sering kali masalah bukan karena perbedaan besar,
tapi karena hati yang merasa tidak dipahami.
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat satu bangunan, yang bagian-bagiannya saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memahami Tanpa Harus Selalu Setuju
Memahami tidak selalu berarti setuju.
Kadang pasangan hanya butuh didengar,
bukan dihakimi.
Tidak semua keluhan butuh solusi cepat.
Tidak semua keresahan butuh nasehat panjang.
Kadang cukup sebuah kalimat sederhana:
“Aku paham. Aku di sini bersamamu.”
Itulah yang sering lebih menenangkan,
daripada ribuan kata nasihat yang dingin.
Menahan Ego untuk Menjaga Cinta
Sulitnya mendengar dengan sabar,
karena ego sering ingin lebih dulu berbicara.
Kita ingin didengar,
tapi lupa untuk mendengar.
Maka Allah menjadikan pernikahan bukan sekadar kebersamaan,
tetapi tempat belajar mengendalikan diri.
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Āli ‘Imrān: 134)
Buah dari Mendengar dan Memahami
Ketika pasangan merasa didengar,
ia akan merasa dihargai.
Ketika pasangan merasa dipahami,
ia akan merasa dicintai.
Dan dari sanalah lahir ketenangan,
rasa aman, dan keyakinan
bahwa cinta ini tidak sekadar kata,
tetapi nyata dalam sikap sederhana:
saling mendengar, saling memahami.