« Home Seusai Halal Daftar Isi »

Bab 4: Syukur yang Menguatkan


Syukur atas yang Sedikit dan Banyak

Kebanyakan manusia hanya ingat bersyukur saat nikmat besar datang.
Kelahiran anak. Rezeki melimpah. Doa yang terkabul.

Namun, syukur sejati tidak menunggu hal besar.
Ia dimulai dari yang kecil, dari yang sederhana.
Napas yang masih berjalan. Hati yang masih beriman.
Pasangan yang hadir, meski penuh kekurangan.

Syukur bukan soal jumlah.
Syukur adalah cara pandang.
Memandang sedikit, seolah banyak.
Memandang banyak, tapi tidak lupa pada Yang Memberi.


Syukur dalam Bahagia dan Luka

Syukur bukan hanya di saat tertawa.
Ia justru terasa lebih dalam di tengah luka.

Ketika hati patah, lalu masih bisa berdoa.
Ketika rezeki sempit, tapi masih ada yang bisa dimakan.
Ketika diuji, tapi masih diberi kesempatan untuk bersabar.

Syukur bukan menafikan sakit.
Syukur adalah mengingat bahwa Allah tetap ada.
Bahwa di balik setiap luka, ada rahmat yang tersimpan.

“Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Syukur sebagai Nafas Kehidupan

Orang yang bersyukur akan selalu merasa cukup.
Bukan karena ia memiliki segalanya,
tetapi karena ia yakin Allah telah memberi yang terbaik untuknya.

Syukur membuat hati tenang.
Syukur menjadikan rumah tangga tenteram.
Syukur membuat kita tidak sibuk membandingkan diri,
karena bahagia sudah cukup dengan apa yang ada.


Kekuatan di Balik Syukur

Syukur adalah energi.
Ia menguatkan yang letih.
Ia menenangkan yang gelisah.
Ia menghidupkan cinta yang hampir padam.

Tanpa syukur, kebahagiaan pun terasa hampa.
Dengan syukur, bahkan kesempitan bisa terasa lapang.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrāhīm: 7)

Syukur bukan sekadar ucapan alhamdulillāh.
Syukur adalah sikap hidup.
Sikap yang menjaga hati tetap kuat—bahkan ketika dunia terasa melemahkan.